Oleh Nine Adien Maulana
Ramadhan
kini telah memasuki sepertiga yang terakhir. Ini adalah momentum
peningkatan kualitas dan kuantitas ibadah kepada Allah SWT. Pada
momentum ini Rasulullah mengencangkan ‘ikat pinggangnya’. Beliau
menghidupkan penghujung malam-malam Ramadhan dan mengajak seluruh
keluarganya aktif beribadah. Inilah momentum yang paling tepat untuk
kembali kepada tugas pokok dan fungsi manusia diciptakan di muka bumi;
dengan melepaskan diri dari daya pikat dan tarik dunia.
Sepuluh
hari terakhir Ramadhan adalah media bagi kita untuk merenung dan menata
ulang lintasan perjalanan hidup kita yang mungkin telah keluar dari
orbit yang semestinya. Orbit kita melingkar sesuai dengan lintasan dari
Allah untuk Allah dan akan kembali Allah. Semua berorientasi kepada
Allah, sesuai dengan deklarasi innā lillāhi wa innā ilayhi rāji’ūn.
Rasulullah SAW memerintahkan kita menghidupkan malam-malamnya dengan berbagai aktifitas ibadah (qiyāmul layl).
Malam itu adalah malam kemuliaan. Nilainya melebihi seribu bulan. Malam
itu adalah malam ketetapan; saat Allah menetapkan segala hal yang
sangat fundamental bagi kehidupan umat manusia. Malam itulah yang
dikenal dengan laylatul qadr?
Hanya Allah yang mengetahui hakikat laylatul qadr,
sedangkan pengetahuan manusia tentangnya sangat terbatas; semata-sama
berdasar pemahaman terhadap berita yang disampaikan Allah dan RasulNya.
Oleh karena itulah, kita bisa memahami mengapa ayat yang memberitakannya
didahului oleh kalimat tanya, “wa maa adraaka maa lailatul qadr; Dan tahukah kamu apakah malam kemuliaan itu?”. Dan, Allah sendiri yang kemudian memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. “lailatul qadri khairum min alfi syahr; malam kemuliaan itu lebih baik dari seribu bulan”.
Tidak sepatutnya ayat tersebut dipahami secara kuantitatif, meskipun terdapat kata bilangan seribu (alf).
Kata bilangan seribu lebih tepat dipahami sebagai sesuatu yang banyak
dan tak terhingga dalam hitungan manusia, apalagi nyata-nyata disebutkan
bahwa ia lebih baik dari seribu bulan. Jadi, kemuliaannya tidak sekadar
dibatasi dalam hitungan seribu, namun melebihi hingga tidak terhingga.
Oleh karena itu, jika laylatul qadr
diidentikan dengan malam seribu bulan, maka hal tersebut sebenarnya
mereduksi makna yang sesungguhnya. Bagaimana bisa diterima sesuatu yang
lebih dari seribu, tapi dianggap seribu?
Atas
dasar itulah, kita bisa memahami mengapa Rasulullah memerintahkan kita
untuk berlomba-lomba meningkatkan kualitas dan kuantitas ibadah dan
segala kebaikan. Siapa yang menjumpainya saat melakukan ibadah, niscaya
akan mendapatkan balasan kebaikan yang tiada terhingga. “Dari Aisyah ra,
bahwa Rasulullah saw bersabda: Carilah laylatul qadr pada tanggal-tanggal ganjil dari sepuluh akhir bulan Ramadhan”. (ditahrijkan oleh Bukhari, I, kitab al-Tarawih, hal.225)
Sabda
Rasulullah SAW tersebut juga perlu dipahami lagi secara lebih luas agar
pelaksanaan ibadah kita tidak terjatuh dalam praktik transaksional dan
pilih-pilih, padahal kasih sayang Allah tercurahkan kepada kita tanpa
pandang bulu dan pilih kasih. Sabda tersebut seharusnya minimal dipahami
sebagai penekanan pada sepuluh hari terakhir, tanpa pilih-pilih apakah
pada tanggal ganjil atau genap.
Tanggal
ganjil atau genap sebenarnya adalah sesuatu yang terikat ruang dan waktu
tertentu dan tidak bisa digeneralisasi. Bisa jadi di suatu tempat
tertentu sedang berlaku tanggal ganjil dan pada saat yang sama di tempat
lain sedang berlaku tanggal genap. Mengapa bisa terjadi? Ya karena
adanya rotasi bumi yang menyebabkan separuh bagian bumi siang dan
separuh bagian yang lain malam.
Tidak hanya
itu, karena perbedaan mengawali puasa, tanggal ganjil atau genap pada
sepertiga terakhir Ramadhan pasti tidak sama. Saudara-saudara kita yang
mengawali berpuasa mendahului atau lebih akhir dari ketetapan resmi
Pemerintah, pasti penanggalan ganjil genapnya tidak sama dengan kita
yang mengawali berpuasa berdasar ketetapan pemerintah. Tanggal ganjil
mereka pasti lebih dahulu daripada kita. Bagi mereka ganjil, tapi bagi
kita genap.
Jika kita terlalu bernafsu meraih laylatul qadr dengan
model transaksional dan pilih-pilih dalam beribadah, maka siap-siaplah
kecele. Pada malam-malam ganjil, kita bersemangat, sedangkan pada
malam-malam genap, kita terlena. Bisa jadi yang ganjil sebenarnya genap
dan yang genap sebenarnya adalah ganjil.
Hal ini juga berlaku bagi kita yang memburu laylatul qadr
dengan mempertimbangkan hari awal puasa. Bagaimana mungkin rumusan
tersebut bisa menjadi pertimbangan universal, jika di satu tempat dan
waktu, hari awal puasanya berbeda. Pada Ramadhan ini ada yang mengawali
puasa hari Selasa. Ada pula yang mengawalinya hari Rabu. Padahal, kedua
hari itu menjadi pertanda hadirnya laylatul qadr pada tanggal ganjil
yang berbeda.
Oleh karena itu, jangan kultuskan
tanggal ganjil dan sepelekan tanggal genap di sepertiga terakhir
Ramadhan. Seharusnya sepanjang Ramadhan, kualitas dan kuantitas ibadah
kita semakin meningkat daripada sebelumnya. Jika hal itu belum
terlaksana, maka sepertiga terakhir Ramadhan harus menjadi momentum
spesial bagi kita untuk bersimpuh dan bermunajat kepada-Nya dengan lebih
intensif tanpa mempedulikan apakah tanggal ganjil ataukah genap.
Memburu laylatul qadr dengan
memperhatikan tanda-tanda tertentu memang tidak salah. Ada banyak
hadits yang dapat dijadikan referensi, meskipun tidak semua ulama ahli
hadits menyepakati status kekuatan hadits tersebut. Ada banyak pula
pendapat ulama yang menjelaskan tanda-tandanya yang dikaitkan dengan
fenomena tertentu. Semua keterangan tersebut seharusnya dijadikan
sebagai salah satu motivasi untuk mengintensifkan ibadah, bukan untuk
memilih-milih kapan bisa dilakukan atau ditinggalkan.
Sikap pilih-pilih ibadah seperti itu berpotensi memastikan laylatul qadr
dengan mengultuskan malam ganjil dan mengabaikan malam genap di
sepertiga terakhir Ramadhan. Ibadah kita akhirnya berlangsung secara
transaksional. Padahal, kita amat tidak sebanding melakukan transaksi
dengan Allah. Apa yang Allah berikan kepada kita tiada terkira
dibandingkan dengan apa yang kita lakukan dan persembahkan kepada-Nya.
Tidakkah kita malu jika beribadah dengan model ini?
Penulis adalah Ketua Tanfidziyyah Pengurus Ranting Nahadlatul Ulama Pacarpeluk, Jombang
0 Komentar
Terima kasih atas saran dan komentar anda