Fakta, Kemenangan Indonesia Karena Komando Kyai


Di Banyuwangi Kota muncul beberapa nama Kiai yang terlibat dalam mengorganisir massa untuk menghadapi gempuran NICA, baik di pertempuran 10 November di Surabaya maupun pertempuran-pertempuran lain di Banyuwangi. Nama Kiai Saleh Lateng terdengar nyaring dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan. Selain melakukan tirakat (riyadlah) demi mewujudkan kemerdekaan bangsa, Kiai Saleh menjadi tempat jujukan para santri dan pejuang lainnya untuk meminta nasehat dan doa. Kiai Saleh juga mengirimkan para santrinya untuk ikut perang di Surabaya. Bahkan, pada peperangan yang kelak dikenal sebagai hari pahlawan tersebut, beliau tampak ikut bertempur di medan laga.
Kiai Syamsuri Singonegaran dan Kiai Abdul Wahab Penataban juga merupakan punggawa pasukan Sabilillah Banyuwangi. Kedua orang tersebut merupakan sahabat karib dan seperjuangan Kiai Saleh. Masjid Riyadus Sholihin Singonegaran yang didirikan oleh Kiai Syamsuri kerap menjadi jujukan para laskar Hisbullah. Konon, ada beberapa anggota laskar yang terluka dan dibawa kesana, lalu akhirnya meninggal dan dimakamkan tak jauh dari sana.
Sedangkan Kiai Wahab sendiri memiliki kemampuan kanuragan yang luar biasa. Bom-bom yang berjatuhan dari pesawat tempur Belanda, tak satu pun yang meledak. Mungkin hal ini terdengar mustahil, namun hal ini nyata adanya. Surat kabar "Kedaulatan Rakjat" tertanggal 26-11-1945, mengkonfirmasi hal tersebut.
"Kesaktian kijai2 di medan pertempoeran, ternyata boekan hanja berita lagi, tapi kita saksikan sendiri. Banjak mortier jang melempem, bom tidak meledak dsbnja lagi."
Selain nama-nama di atas, juga muncul seorang kiai muda asal Tukangkayu, Kiai Harun. Pendiri PP Darunnajah yang juga menjadi ketua cabang NU Banyuwangi ini menjadi semacam kordinator penggerak santri dan laskar ke medan tempur. Pesantrennya yang tak jauh dari stasiun Banyuwangi Lama (Pasar Karangrejo) menjadi meeting point sebelum berangkat ke Surabaya. Konon, ada dua rombongan dari Banyuwangi, ada yang turun di stasiun Gedangan, Surabaya lalu langsung terlibat pertempuran. Ada pula yang menuju ke Parakan terlebih dahulu untuk memohon barakah bambu runcing ke Kiai Subkhi.
Geser ke Selatan, ada nama Kiai Abdullah Faqih di Cemoro, Songgon. Sebagai salah satu kiai sepuh, Kiai Faqih juga menjadi bagian dari pasukan Sabilillah yang bagian mendoakan dan berperang dengan mendayagunakan kekuatan spritualnya. Kisah yang beredar turun temurun, Kiai Faqih memimpin beberapa peperangan di Banyuwangi, baik perang Bedewang maupub perang Laban hanya dengan memendam dirinya disebuah bukit di desa Parangharjo, Songgon.
Tak hanya Kiai Faqih, putra-putra dan para santrinya pun ikut serta dalam pertempuran. Dengan nama Laskar Santri Cemoro dibawah pimpinan Gus Sholeh dan Gus Idris, segenap jiwa raga mereka persembahkan untuk ibu pertiwi Indonesia. Bahkan, Gus Idris syahid di tengah medan tempur.
Di Srono adapula kiai kharismatik yang menggerakkan masyarakat dan santrinya untuk berjuang. Kiai Dimyati Syafi'i namanya. Rois Syuriah NU Blambangan ini tanpa ragu memfatwakan warga nahdliyin untuk ikut berjihad sebagaimana instruksi dari PBNU kala itu. Tak ayal, ketika perjuangan beliau terendus Belanda, seketika langsung dibumi hanguskan pesantrennya, PP. Nahdlatut Thullab, Kepundungan, Srono.
Tak jauh dari Srono, di Muncar muncul dua kiai pejuang asal satu desa yang sama, Sumberberas. Yaitu duet Kiai Askandar (Mambaul Ulum) dan Kiai Abdul Manan (Minhajut Thullab). Waktu pengepungan Belanda ke pesantren, Kiai Abdul Manan berhasil lolos dengan bersembunyi di rumah salah satu warga.
Beranjak ke daerah Pesanggaran juga muncul nama Kiai Muhammad dan Kiai Musaddad yang memimpin Front Kayangan Alaspurwo dan Sukomade. Di pasukan yang senantiasa bergerilya inilah, Kiai Mukhtar Syafaat (PP. Darussalam, Blokagung) muda ikut bergabung.
Di sisi barat Banyuwangi, muncul nama Kiai Junaidi Genteng. Pengasuh PP. Bustanul Makmur ini kerap kali mengajak para santrinya untuk bergerilya. Atas perjuangannya inilah, kerap pula pasukan Belanda melakukan razia.
Tak jauh dari situ, ada pula kiai sepuh yang juga menjadi jujukan para santri dan pejuang untuk memohon doa dan karomah. Kiai Abbas Hasan, Sempu namanya. Mortir-mortir Belanda yang dijatuhkan di pesantrennya - PP. Al-Azhar - tak ada yang meledak. Meleset dan melempem semua.
Di Kalibaru, juga muncul kiai muda yang tergabung dalam laskar Hisbullah, Kiai Abdul Latif Syuja. Tak hanya didaerah Banyuwangi, Kiai Abdul Latif bergerak pula hingga ke wilayah Keresidenan Basuki lainnya. Saat itu, dibawah komando KHR. As'ad Syamsul Arifin, Situbondo.

Sumber: MuslimModerat

Posting Komentar

1 Komentar

Terima kasih atas saran dan komentar anda