Beberapa waktu lalu, Pemerintah melalui Menko Polhukam Wiranto mengumumkan rencana Pemerintah membubarkan Ormas Hizbut Tahrir Indonesia (HTI). Atas dasar itu, Pemerintah pun melarang HTI melakukan kegiatan. Pemerintah berpandangan, kegiatan HTI terindikasi kuat bertentngan dengan Pancasila dan UUD NRI 1945.
Pemerintah perlu mengambil langkah-langkah hukum secara tegas untuk membubarkan HTI,” kata Wiranto seperti diberitakan Kompas.com, Senin (8/5/17).
Beberapa alasan kemudian dikemukan Pemerintah untuk menguatkan argumen bahwa HTI layak dibubarkan. Di antaranya: HTI sebagai ormas berbadan hukum tidak melaksanakan peran positif untuk mengambil bagian dalam proses pembangunan guna mencapai tujuan nasional. Kegiatan yang dilakukan HTI terindikasi kuat bertentangan dengan tujuan, azas, dan ciri yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Kegiatan HTI dinilai telah menimbulkan benturan di masyarakat.
Dalam tulisan ini, saya tidak akan menguraikan hukum karena saya bukan ahli hukum, saya kuliah fakultas hukum tidak lulus. Saya juga tidak akan mengeluarkan jurus dalil Alquran atau hadis. Tahulah, saya bukan ulama, kiai, ustad. Saya cuma bubuk rengginang yang sedang curhat karena Pancasila yang sudah puluhan tahun mempersatukan Indonesia dipersoalkan, digoyang-goyang, dan ingin digantikan. Sebab, kata Gus Ishom, apakah negara akan menyerahkan begitu saja negara ini ke para khilafis, gratis gitu? Ya kagaklah, pasti ada perlawanan, perang, dan saya si bubuk rengginang ini ingin damai tentram gemah ripah loh jinawi ing madya mangun karsa, ing ngarsa sung tulada, tut wuri handayani.
Lanjut, poin-poin itulah yang membuat Pemerintah berani menempuh jalur hukum membubarkan HTI. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2012 tentang Ormas, hanya pengadilan-lah yang berwenang memutus suatu ormas layak dibubarkan atau tidak. Karena itulah, mungkin, Wiranto dalam pernyataannya mengatakan, akan mengambil langkah-langkah hukum.
Ini bisa berarti, Pemerintah melalui Kejaksaan Agung akan mengajukan permohonan pembubaran Ormas HTI ke Pengadilan. Di situlah, pertarungan hukum antara Pemerintah dan HTI yang sebenarnya. HTI bahkan sudah menyiapkan 1000 pengacara di bawah komando Pengacara kondang Yusril Ihza Mahendra.
Pasca pengunguman dari Pemerintah, pro-kontra pun menyeruak. Banyak pihak angkat jempol dan mendukung penuh langkah pemerintah. Meski, ada juga yang mengkritisi Pemerintah dengan menyebut, Pemerintah tidak bisa sewenang-wenang membubarkan ormas. Pemerintah, kata kubu yang menolak, tidakk punya hak membubarkan ormas. Sebab yang berhak hanya pengadilan. Selain itu, HIT juga mengklaim sebagai organisasi yang legal yang memiliki SK dari Kemenkum HAM.
Kubu yang setuju HTI dibubarkan, jelas menganggap HTI sangat pantas dibubarkan. Sebab, HTI dianggap menolak Pancasila. Dasarnya, HTI dalam setiap kegiatannya, selalu menggaungkan diterapkannya sistim negara khilafah. HTI juga disebut-sebut menolak demokrasi. Meski belakangan, HTI membantah itu semua. HTI menyatakan, mereka tidak anti Pancasila.
HTI tentu saja menolak keras rencana Pemerintah. HTI siap melakukan perlawanan terhadap Pemerintah. Perlawanan apa yang akan dilakukan HTI? Tentu saja perlawanan hukum. Hah, perlawanan hukum? Iya, perlawanan hukum.
Seandainya saya HTI, jujur saya akan saya abaikan rencana pembubaran itu. Saya tidak akan sibuk-sibuk mengumpulkan pengacara untuk tarung di pengadilan. Saya akan cuek bebek dan tidak akan mengeluarkan penolakan atau bantahan atas rencana pembubaran itu. Kenapa? Lha wong saya sebagai HTI menolak demokrasi, menolak hukum di Indonesia, dan menolak Pancasila.
Seandainya saya kader khilafah, saya tidak merasa perlu mendaftarkan diri ke Kemenkum HAM atau Kemendagri. Saya tidak akan memiliki KTP. Saya tidak akan menggunakan uang rupiah. Dan saya ogah menikah di KUA yang maksudnya memiliki buku nikah. Saya tidak akan menyekolahkan anak saya di mana ;pun di negeri ini. Sebab, semuanya itu thagut, lambang burung kok diagung-agungkan, Pancasila kok disakralkan, kafir antum.
Sebagai khilafis, seharusnya saya total menolak eksistensi negara ini. Jadi apa urusannya Pemerintah mau membubarkan saya. Emang gue mengakui lo, hey Pemerintah? Mau dibubarin kek, diberangus kek, ana tidak peduli, ana itu ingin sistim khilafah ditegakkan, diterapkan. Ana kagak mengakui Pancasila, UUD NRI 1945, Undang-Undang, dan demokrasi, jadi persetan rencana pembubaran itu.
Tapi, di sinilah lucunya HTI. Di satu sisi HTI gembar-gembor ingin mendirikan negara khilafah. Ingin mengganti Pancasila dan menolak demokrasi berikut hukum-hukum di Indonesia, tapi kelenger dengar rencana Pemerintah mau membubarkan. Lalu bilang, Pemerintah otoriter, melanggar HAM, melanggar Undang-Undang. Aduh, apakah Pemerintah saat ini sudah khilafah? Apakah HAM saat ini sesuai dengan syariat Islam? Apakah Undang-Undang/hukum itu bersumber dari hukum Islam? Lha kan, menurut HTI tidak. Semuanya thagut. Kenapa sekarang bicara HAM dan Undang-Undang? Kemarin ente getol tolak pemimpin kafir apa itu tidak melanggar HAM? Apa itu tidak melanggar Undang-Undang? Lalu antum jawab, tidak! Itu sesuai dengan konstitusi. Duh, pertama seharusnya bukan kata “tolak” yang digunakan tapi paling tidak “pilih calon yang ini jangan yang itu”, itu paling tidak lho. Kedua, kok antum bicara konstitusi? Bukankah antum menolaknya?
Dikutip dari website resmi HTI, khilafah adalah kepemimpinan umum yang berlaku bagi seluruh umat Muslim di dunia. Menurut saya, konsep khilafah ini sangat utopis. Kenapa? Karena ingin mempersatukan seluruh muslim di dunia di bawah satu sistim, satu kepemimpinan. Atau saya curiga, ada agenda terselubung HTI yang ingin menguasai dunia. Masih berdasarkan rilis HTI di website-nya, saat ini, di dunia, tidak ada sistim pemerintahan yang menggunakan sistim khilafah. Sistim pemerintahan khilafah tidak sama dengan sistim pemerintahan di negara mana pun.
Menurut HTI, kepala negara dalam sistim khilafah bukan raja atau diktator. Lalu apa? Kata HTI, kepala negara dalam sistim khilafah adalah seseorang yang yang terpilih yang mendapat otoritas kepemimpinan dari umat Islam. Otoritas yang diberikan oleh umat Islam itu berdasarkan kontrak politik yang khas.
Di titik ini, saya mulai bingung dengan HTI, kepala negara dalam sistim khilafah adalah dia yang terpilih. What? Terpilih? Maksudnya apa? Pemilihan umum-kah? HTI juga menyatakan, kepala negara tidak bisa memimpin jika tidak ber-baiat. Bukankah, jangankan kepala negara, kepala desa pun tidak bisa memimpin jika belum di-baiat atau disumpah.
Kontrak yang tertuang dalam baiat, kata HTI, mengaharuskan kepala negara (khalifah) berlaku adil sesuai syariat Islam. Apa kepala negara Indoensia saat ini dengan sistim Pancasila tidak diharuskan berlaku adil? Atau jangan-jangan, HTI memiliki rumusan sendiri soal keadilan yang sesuai syariat Islam. Ini berarti, seadil apa pun kepala negara Indonesia tetap dianggap tidak adil oleh HTI.
HTI dengan sistim khilafah menginginkan, setiap Undang-Undang harus berasal dari hukum Islam. HTI mungkin amnesia bahwa sebagian hukum di Indonesia dipengaruhi oleh hukum Islam. Bukankah umat Islam di Indonesia sudah cukup diistimewakan? Lihat saja, adanya Pengadilan Agama yang mencakup permasalahan kekeluargaan, waris, dan keuangan Islam. Ada Kompilasi Hukum Islam. Ada Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2008 tentang Surat Berharga Syariah Negara. Dan, ada Undang-Undang Nomor 44 tahun 2008 tentang Pornografi. Undang-Undang yang disebutkan terakhir baik langsung atau tidak langsung bernapaskan Islam. Kurang Islam apa Indonesia, ya akhi, ukhti?
HTI mengakui bahwa kepala negara dalam sistim khilafah tetaplah manusia biasa yang memiliki potensi salah. Untuk itu, kata HTI, dalam sistim khilafah disediakan sarana check and balance guna memastikan kepala negara berada di jalur yang benar. Apa saat ini, di Indonesia tidak ada sarana itu? Apa saat ini di Indonesia, kepala negara bebas berbuat sesuka hati? Tidak, antum!
Ini yang cukup mengerikan, HTI bilang, nasionalisme dan rasisme tidak memilki tempat dalam sistim Khilafah, haram hukumnya. Soal rasisme, saat ini juga di Indonesia tidak mendapat tempat. Lalu soal Nasionalisme yang diharamkan tentu sangat ngawur. Bagaimana mungkin Indonesia bisa merdeka jika nasionalisme diharamkan. Pastilah kiai-kiai, santri-santri, akan ogah melawan penjajah. Dan kalau Indonesia tidak merdeka, apa bisa antum mengibarkan bendera HTI? Ditembak pasukan kolonial yang ada.
Kepala negara atau khalifah bisa berasal dari golongan apa pun, ras mana pun, intinya siapa saja boleh (asalkan Islam). Kanda HTI, saat ini di Indonesia, siapa pun boleh mencalonkan diri menjadi pemimpin. Buat apa repot-repot lagi mengganti Pancasila yang sudah bertahan puluhan tahun dengan khilafah?
Dan, ini poin menarik, HTI sudah pasti ingin mengganti sistim pemerintahan dan Pancasila. Karena HTI menginginkan sumber hukum mutlak dari Islam bukan Pancasila. Sistim republik juga sebisa mungkin akan dihapus dengan sistim khilafah. Apa sebab? Karena republik amat sangat berbeda dengan khilafah. Republik menggunakan instrumen demokrasi. Itulah intinya. HTI ogah menggunakan sistim demokrasi karena kata HTI, demokrasi membuat kedaulatan berada di tangan rakyat. HTI ingin kedaulatan berada di tangan syariat. Khilafah merampas kedaulatan dari rakyat. Ih, ogah amat.
Sebuah anomali ketika HTI menolak Pancasila dan demokrasi. Karena, seandainya Indonesia bukan berdasarkan Pancasila dan sistim demokrasi, mana mungkin HTI bisa eksis. Sungguh konyol, menolak Pancasila dan demokrasi tapi diam-diam menikmatinya.
Setiap orang dalam Negara Khilafah berhak menyampaikan ketidaksetujuannya terhadap kebijakan-kebijakan negara tanpa harus merasa takut akan ditahan atau dipenjara. Itu kata HTI. Akhi, ukhti, apa saat ini di Indonesia tidak seperti itu? Antum juga bebas mengemukakan gagasan, penolakan, bahkan aksi turun ke jalan bukan? Apa saat ini Indonesia menggunakan khilafah? Tentu tidak.
Dalam sistem Khilafah, wanita tidak berada pada posisi inferior atau menjadi warga kelas dua. Islam memberikan hak bagi wanita untuk memiliki kekayaan, hak pernikahan dan perceraian, sekaligus memegang jabatan di masyarakat. Itu juga argumentasi HTI. Haduh, saya ingatkan lagi, di Indonesia saat ini, hal itu sudah diterapkan. Ingat, Indonesia pernah dipimpin kepala negara wanita. Lalu hitung berapa banyak gubernur, bupati, walikota yang perempuan. Apa saat ini di Indonesia wanita dijadikan warga kelas dua, tiga, empat, dan seterusnya? Bahkan, ada mekanisme khusus soal kuota keterpilihan wanita dalam pemilihan legislatif, ukhti.
Jadi, seandainya saya HTI, saya akan berpikir, buat apa capek-capek ingin menerapkan sistim khilafah? Indonesia sudah khilafah banget. Pemilihan kepala negaranya terbuka, jujur, adil, rahasia, plus dipilih langsung oleh rakyat. Kepala negara juga disumpah di bawah Alquran (bagi muslim), artinya sama, sudah berb-baiat untuk mengabdi kepada rakyat. Kita bebas berpendapat bahkan menolak kebijakan yang dikeluarkan. Siapa saja boleh mencalonkan diri (bukan hanya Islam), makanya saya bilang Indonesia lebih khalifah daripada khalifah impian HTI.
Seadainya saya HTI, saya akan malu dan tahu diri saat ingin mendirikan negara khilafah. Sebab, mungkin kakek saya, eyang saya, eyang istri saya, kakek mertua saya, buyut teman saya, atau guru ngaji saya berdarah-darah melawan penjajah. Untuk apa? Mendirikan negara Indonesia yang berdasar Pancasila bukan berdasar khilafah. Saya juga tidak punya muka jika terus menggonggong ingin mendirikan khilafah, sebab, saya bisa bicara seenak udel ya karena sistim demokrasi dan tentunya Pancasila bukan hilafah.
Ada masalah apa kalian, HTI, dengan Pancasila, dengan demokrasi? Apa tidak bisa bicara baik-baik, bukankah itu Islam banget, musyawarah gitu sambil ngopi. Apa karena Pancasila dan demokrasi itu thagut, produk kafir, dan kalian inginkan yang benar-benar murni dari Islam? Cari saja tanah yang masih kosong yang tidak ada yang mengklaim, di kutub utara misalnya, silakan dirikan khilafah di sana.
Seandainya saya HTI, bagi saya cukup Pancasila karena itu sudah Islam banget, khilafah banget.
Romdoni
Ansor Kabupaten Tangerang
Sumber : http://www.muslimoderat.net/
0 Komentar
Terima kasih atas saran dan komentar anda